Pengenalan Huruf Jepang Secara Offline
- Oleh Luh Lindayani
- Sunday 01/08/2021
- Kelompok 114, Kelompok, Kelompok
Don’t be afraid to give up the good to
go for the great.
John D. Rockefeller
Pengenalan huruf hiragana
dan katakana yang dilakukan secara offline berlangsung dari tanggal 8 Juli.
Rentang waktu yang
digunakan lumayan
lama, dikarenakan harus dilakukan door to door dan dikarenakan ada program
tambahan yang tidak direncanakan sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan dengan
para masyarakat sasaran offline memiliki jumlah dan waktu yang lebih banyak
dibandingkan dengan kegiatan online. Walaupun melelahkan, ada begitu banyak hal
menyenangkan dan menarik yang terjadi.
Penganalan huruf Hiragana
pertama kali saya lakukan bersama dengan kelompok 1 yang tediri siswa sd dan
smp, Rara dan Ojis. Di sekolah Ojis ada pelajaran bahasa Jepang, sedangkan di
sekolah Rara pelajaran bahasa Jepang tidak ada, namun kemungkinan di sekolah
menengah nanti dia akan mendapatkan pelajaran bahasa Jepang.
Mereka sangat bersemangat
selama menjalani kegiatan pengenalan huruf Jepang. Selama kegiatan pembelajaran Ojis sangatlah bersemangat, setiap
menulis dia terlihat seperti orang yang dikejar sesuatu. Koreksi yang diberikan
pun cukup sulit untuk diterapkan olehnya. Dia perti ingin cepat menguasai dan
tidak sabaran. Berbanding terbalik dengan Rara adiknya, Ia sanagt tenang dan
memperhatikan koreksi-koreksi yang diberikan. Perbandingan dari tulisan mereka
juga terlihat cukup jelas. Ojis menulis tidak terlalu rapi dan terkesan
terburu-buru. Rara sendiri, memiliki tulisan yang rapi dan niat. Namun
dibandingkan dengan Rara, Ojis lebih aktif dalam bertanya.
Kelompok kedua yang saya
ajari secara offline adalah seorang anak SMA dan anak yang akan masuk SMA.
Dibandingkan dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini lebih sulit untuk
dikumpulkan. Saya memang tinggal serumah dengan Intan yang merupakan sepupu
saya, dikarenakan terjebak PPKM. Namun, dia memiliki kesibukan dan hal-hal
lainnnya, sehingga pembelajaran sulit dilakukan. Rossi sendiri tengah
mempersiapkan diri untuk menjalani MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah)
dan dia tidak bisa mengendarai sepeda motor sendiri, jadi harus saya atau Intan
yang menjemputnya.
Mereka berdua memiliki
keseriusan dalam menulis huruf Jepang dan tertarik untuk mendalami lebih dalam.
Namun dikarenakan waktu yang tidak tepat, kegiatan pembelajaran terpaksa
terhenti, terutama untuk Rossi. Setelah kuis Hiragana, Rossi harus menjalani
MPLS sehingga tidak mungkin baginya untuk mengikuti pelajran selanjutnya.
Sedangkan Intan yang merupakan siswi SMA juga harus mengikuti pembelajran
secara daring dan menerima cukup banyak tugas. Untuk Intan sendiri,
pembelajaran terhenti hingga pengenalan huruf Katakana II dan dilanjutkan
dengan pembelajaran 12 tenses.
Itu adalah hal yang cukup
mengecewakan. Maka dari itu, di hari terakhir Rossi mengikuti kegiatan, saya membuat
kimchi lobak. Saat itu ada kelompok 1 dan 2.
Dengan ini rencana awal
dari pengenalan huruf Jepang secara offline udah terlaksana. Selama kegiatan
berlangsung, ada hal yang cukup menghambat kegiatan yaitu penyesuaian waktu
dari setiap masyarakat sasaran. Ini cukup menghambat karena saya harus
menyesuaikan jadwal saya dan kedua masyarakat sasaran dalam tiap kelompok, yang
menyebabkan jadwal saya jadi berantakan dan saya pun merasa kewalahan karena
bingung dan penumpukan list kegiatan. Selain itu, fasilitas yang tidak
mendukung di rumah masyarakat sasaran juga cukup membuat kegiatan terasa tidak
efektif, misalnya saja meja yang cukup besar untuk 2 orang menulis secara
bersamaan.
Ini merupakan sebuah
pengalaman yang bagus. Ternyata mengajari secara langsung itu jauh lebih
melelahkan ketimbang memberikan pembelajaran secara online. Pembelajran offline
jauh lebih menguras otak dan juga tenanga secara bersamaan. Tapi tentunya ini
jauh lebih menyenangkan karena dapat berinteraksi secara bebas tanpa takut
kuota habis, gedget panas, dan tentunya dapat melihat secara langsung progres
dari peserta sasaran. Selain masyarakat sasaran, membuat tugas penulisan huruf
dengan pendampingan saya, jadi kalau ada yang tidak mereka mengerti bisa
langsung ditanyakan saat itu juga.
All we can do is
the best we can do.
David Axelrod
Walaupun ada kendala
hingga tidak bisa terselesaikannya program kerja secara sempurna untuk 2 orang
masyarakat sasaran offline, saya tidak terpuruk karenanya dan mengambil hikmah
yang terkandung di dalamnya. Lagi pula sekolah memang adalah prioritas utama
seorang pelajar.
Semoga dengan apa yang
telah saya bagi kepada mereka dapat menjadi suatu hal yang berguna suatu saat
nanti untuk pijakan di kehidupan mereka. Saya yakin, sesedikit apapun sebuah
ilmu, setidak berhubungannya ilmu itu dengan kehidupan sekarang, sampai
dipertemukan dengan ilmu tersebut pasti ada sebuah benang merah antara ilmu
tersebut dengan kehidupan di masa depan.